1.
pandangan hukum Islam terhadap tindak
kekerasan dalam rumah tangga
Pandangan
islam dalam KDRT adalah sebuah idiologi atau sebuah acuan dari sudut pandang atau
dari sistem islam tentang tindak kekerasan didalam rumah tangga, yang lebih dulu diatur didalam alQu’an dan
hadist. Akan tetapi berdasarkan penelitian ini diperoleh, bahwa Islam tidak mengenal istilah atau
definisi kekerasan dalam rumah tangga secara khusus. Kekerasan dalam rumah
tangga menurut Islam termasuk ke dalam kategori kejahatan (kriminalitas) secara
umum. (“ baitijannati.wordpress.com”).
Seperti halnya pengertian KDRT didalam undang-undang adalah setiap perbuatan terhadap seseorang
terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan
secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan
secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Pasal 1 Butir 1).
Adapun
didalam Surat An-Nisa:19 Allah swt. memerintahkan bahwa perempuan harus
diperlakukan dengan baik. "Wahai orang yang beriman, tiada dihalalkan
bagimu mempusakai perempuan dengan paksaan dan janganlah bertindak kejam
terhadap mereka….sebaliknya bergaullah dengan mereka secara baik-baik lagi
adil. Hiduplah bersama mereka dalam kebajikan". Dalam surat Ar-Rum:21,
Allah swt menyuruh agar keluarga (suami, istri) harus dibangun dengan dasar
saling mencintai dan saling menyayangi (“ Surat An-Nisa:19”).
Begitu
juga di dalam Hadis yang meriwayatkan amanah Nabi Muhammad kepada para sahabat
agar berlaku baik terhadap istri-istrinya banyak ditemukan. Mulai dari yang
diriwayatkan oleh Tarmidzi. Aisyah
meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda "Yang paling baik
dikalangan kamu adalah mereka paling sopan terhadap istrinya" (HR.
Tarmidzi). Atau dalam riwayat Abu Daud, Nasa’i dan Ibnu Majah. Mereka
meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. Bersabda: "…para suami yang memukul
istrinya bukanlah termasuk orang-orang baik diantara kamu"(HR.Abu Daud,
Nasa’i dan Ibnu Majah). Dalam Hadist lain Nabi mewanti-wanti agar
"Janganlah kamu memukul hamba-hamba perempuan Allah swt" (HR. Abu
Daud).
Jika
melihat firmah Allah SWT dan Hadist Nabi di atas, maka kekerasan terhadap
perempuan, adalah hal yang dilarang dalam Islam. Bahkan jika perempuan
melakukan nusyuz, Allah tetap
memerintahkan agar memperlakukan perempuan dengan baik:
“Perempuan-perempuan
yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah dari
tempat tidur mereka dan pukullah (wadharibuhunna) mereka. Kemudian jika mereka
mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah maha Tinggi lagi Maha Besar." (“An Nisa: 34”)
Kata
wadharibunna yang berasal dari kata dharaba lebih banyak ditafsirkan dengan
memukul. Ini sering dijadikan alasan pemukulan suami terhadap istri. Padahal
kata dharaba memiliki arti yang sangat luas seperti mendidik, mencangkul,
memelihara bahkan menurut Ar-Raghib secara metaforis berarti melakukan hubungan
seksual. Islam adalah agama rahmatal lil alamin (pembawa rahmat, kebaikan) bagi
alam semesta. Sangat tidak mungkin jika Islam mengajarkan kekerasaan terhadap
siapapun dan apapun yang ada dialam semesta ini. Jika kita mengimani
kekerasaan, maka sebenarnya kita mengingkari ayat-ayat Alqur’an dan mengingkari
kewelasasihan Nabi Muhammad saw.
2. mekanisme
penanganannya menurut hukum Islam
Adapun
ketegangan maupun konflik yang terjadi di dalam rumah tangga merupakan hal yang
biasa. Namun, apabila ketegangan itu berbuah kekerasan, seperti: menampar,
menendang, memaki, menganiaya dan lain sebagainya, ini adalah hal yang tidak
biasa. Demikian itulah potret KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga).
Ada
banyak langkah yang harus segera kita lakukan. Dua belah pihak (suami dan
istri) harus bersama-sama berusaha untuk menjauhkan diri terlibat dengan KDRT.
Walaupun, aktor penting dalam masalah ini adalah suami, akan tetapi istri juga
berpeluang menciptakan
KDRT.(“http://d2bnuhatama.blogspot.com/2011/08/makalah-pancasila-kekerasan-dalam-rumah.html”).
Langkah-langkah
untuk menanggulangi KDRT, antara lain adalah:
a. Cara
penyelesaian kekerasan dalam rumah tangga menurut hukum Islam yaitu melalui
pemberian sanksi hukuman dimana hukuman tersebut diterapkan sesuai dengan jenis
kejahatan yang dilakukan oleh pelaku.
b. landasan
keimanan. Makanya, antara suami dan istri harus senantiasa mendekatkan diri
kepada Allah SWT. Insya Allah, manakala suami sholeh dan istrisholehah akan
jauh dari KDRT.
c. Perlunya
keimanan yang kuat dan akhlaq yang baik dan berpegang teguh pada agamanya
sehingga Kekerasan dalam rumah tangga tidak terjadi dan dapat diatasi dengan
baik dan penuh kesabaran.
d. Harus tercipta kerukunan dan kedamaian di dalam
sebuah keluarga, karena didalam agama itu mengajarkan tentang kasih sayang
terhadap ibu, bapak, saudara, dan orang lain. Sehingga antara anggota keluarga
dapat saling mengahargai setiap pendapat yang ada.
e. Harus
adanya komunikasi yang baik antara suami dan istri, agar tercipta sebuah rumah
tangga yang rukun dan harmonis. Jika di dalam sebuah rumah tangga tidak ada
keharmonisan dan kerukunan diantara kedua belah pihak, itu juga bisa menjadi
pemicu timbulnya kekerasan dalam rumah tangga.
f. Butuh
rasa saling percaya, pengertian, saling menghargai dan sebagainya antar anggota
keluarga. Sehingga rumah tangga dilandasi dengan rasa saling percaya. Jika
sudah ada rasa saling percaya, maka mudah bagi kita untuk melakukan aktivitas.
Jika tidak ada rasa kepercayaan maka yang timbul adalah sifat cemburu yang
kadang berlebih dan rasa curiga yang kadang juga berlebih-lebihan.
g. Seorang
istri harus mampu mengkoordinir berapapun keuangan yang ada dalam keluarga,
sehingga seorang istri dapat mengatasi apabila terjadi pendapatan yang minim,
sehingga kekurangan ekonomi dalam keluarga dapat diatasi dengan baik.
3. Faktor
dan sanksi bagi pelaku tindak KDRT dalam islam
a. Faktor-faktor
Kekerasan
terhadap wanita adalah bentuk kriminalitas (jarimah). Pengertian kriminalitas
(jarimah) dalam Islam adalah tindakan melanggar peraturan yang telah ditetapkan
oleh syariat Islam dan termasuk kategori kejahatan. Sementara kejahatan dalam
Islam adalah perbuatan tercela (al-qobih) yang ditetapkan oleh hukum syara’,
bukan yang lain. Sehingga apa yang dianggap sebagai tindakan kejahatan terhadap
wanita harus distandarkan pada hukum syara’. (“http://d2bnuhatama.blogspot.com/2011/08/makalah-pancasila-kekerasan-dalam-rumah.html”).
Disinilah
kekeliruan mendasar dari kelompok Feminis, yang menganggap kejahatan diukur
berdasarkan kepada gender (jenis kelamin) korban atau pelakunya, bukan pada
hukum syara’. Mereka membela pelacur, karena dianggap sebagai korban.
Sebaliknya mereka menuduh poligami sebagai bentuk kekerasan terhadap wanita,
dengan anggapan wanita telah menjadi korbannya.
Padahal,
kejahatan bukanlah perkara gender (jenis kelamin). Pasalnya, kejahatan bisa
menimpa siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan. Pelakunya juga bisa
laki-laki dan bisa pula perempuan. Dengan demikian Islam pun menjatuhkan sanksi
tanpa melihat apakah korbannya laki-laki atau perempuan. Tidak pula melihat
apakah pelakunya laki-laki atau perempuan, tapi yang dilihat apakah dia
melanggar hukum Allah SWT atau tidak.
Kekerasan
juga bukan disebabkan sistem patriarki atau karena adanya subordinasi kaum
perempuan, karena laki-laki maupun perempuan mempunyai peluang yang sama
sebagai korban. Kalaupun data yang tersedia lebih banyak menyebutkan wanita
sebagai korban, itu semata-mata karena data laki-laki sebagai korban kekerasan
tidak tersedia. Dengan begitu kekerasan tidak ada kaitannya dengan penyetaraan
hak laki-laki atau perempuan. Gagasan anti-KDRT dengan mengatasnamakan
pembelaan terhadap hak-hak wanita pada akhirnya justru bias gender.
Lebih
dari itu, kekerasan atau kejahatan sendiri dipicu oleh dua hal. Pertama, faktor
individu. Tidak adanya ketakwaan pada individu-individu, lemahnya pemahaman
terhadap relasi suami-istri dalam rumah tangga, dan karakteristik individu yang
temperamental adalah pemicu bagi seseorang untuk melanggar hukum syara’,
termasuk melakukan tindakan KDRT.
Kedua,
faktor sistemik. Kekerasan yang terjadi saat ini sudah menggejala menjadi
penyakit sosial di masyarakat, baik di lingkungan domestik maupun publik.
Kekerasan yang terjadi bersifat struktural yang disebabkan oleh berlakunya
sistem yang tidak menjamin kesejahteraan masyarakat, mengabaikan nilai-nilai
ruhiyah dan menafikkan perlindungan atas eksistensi manusia. Tak lain dan tak
bukan ialah sistem kapitalisme-sekular yang memisahkan agama dan kehidupan.
Penerapan
sistem itu telah meluluh-lantakkan sendi-sendi kehidupan asasi manusia. Dari
sisi ekonomi misalnya, sistem kapitalisme mengabaikan kesejahteraan seluruh
umat manusia. Sistem ekonomi kapitalistik menitikberatkan pertumbuhan dan bukan
pemerataan. Pembangunan negara yang diongkosi utang luar negeri, dan merajalelanya
perilaku kolusi dan korupsi pada semua lini pemerintahan, telah meremukkan
sendi-sendi perekonomian bangsa. Tak kurang 70% penduduk Indonesia berada di
bawah garis kemiskinan. Mereka tidak mampu menghidupi diri secara layak karena
negara mengabaikan pemenuhan kebutuhan pokok mereka. Himpitan ekonomi inilah
yang menjadi salah satu pemicu orang berbuat nekat melakukan kejahatan,
termasuk munculnya KDRT. Banyak kasus KDRT menimpa keluarga miskin, dipicu
ketidakpuasan dalam hal ekonomi.
Dari
sisi hukum, ketiadaan sanksi yang tegas dan membuat jera pelaku telah
melanggengkan kekerasan atau kejahatan di masyarakat. Seperti pelaku
pemerkosaan yang dihukum ringan, pelaku perzinaan yang malah dibiarkan, dll.
Dari sisi sosial-budaya, gaya hidup hedonistik yang melahirkan perilaku
permisif, kebebasan berperilaku dan seks bebas, telah menumbuh-suburkan
perilaku penyimpangan seksual seperti homoseksual, lesbianisme dan hubungan
seks disertai kekerasan.
Dari
sisi pendidikan, menggejalanya kebodohan telah memicu ketidak-pahaman sebagian
masyarakat mengenai dampak-dampak kekerasan dan bagaimana seharusnya mereka
berperilaku santun. Ini akibat rendahnya kesadaran pemerintah dalam penanganan
pendidikan, sehingga kapitalisasai pendidikan hanya berpihak pada orang-orang berduit
saja. Lahirlah kebodohan secara sistematis pada masyarakat. dan kemerosotan
pemikiran masyarakat, sehingga perilakupun berada pada derajat sangat rendah.
Untuk
persoalan sistemik ini, dibutuhkan penerapan hukum yang menyeluruh oleh negara.
Kalau tidak akan terjadi ketimpangan. Sebagai contoh sulit untuk menghilangkan
pelacuran, kalau faktor ekonomi tidak diperbaiki. Sebab, tidak sedikit orang
melacur karena persoalan ekonomi. Kekerasaan dalam rumah tangga, kalau hanya
dilihat dari istri harus mengabdi kepada suami, pastilah timpang. Padahal dalam
Islam, suami diwajibkan berbuat baik kepada istri. Kekerasaan yang dilakukan
oleh suami seperti menyakiti fisiknya bisa diberikan sanksi diyat. Disinilah
letak penting tegaknya hukum yang tegas dan menyeluruh.
Perlu
pula diingat, kejahatan bukan sesuatu yang fitri (ada dengan sendirinya) pada
diri manusia. Kejahatan bukan pula profesi yang diusahakan oleh manusia, juga bukan penyakit yang menimpa manusia.
Tapi kejahatan adalah setiap hal yang melanggar peraturan Allah SWT, siapapun
pelakunya, baik laki-laki maupun wanita.
b. Sanski
Pelaku Jarimah
Kekerasan
terjadi baik di lingkungan keluarga maupun di luar rumah tangga. Dan semua
bentuk kriminalitas, baik di lingkup domestik maupun publik akan mendapatkan
sanksi sesuai jenis kriminalitasnya, baik pelakunya laki-laki maupun perempuan.
Semisal bagi orang yang menuduh wanita berzina tanpa bukti, pelakunya dihukum
oleh Islam (“http://baitijannati.wordpress.com/2007/02/02/pandangan-islam-terhadap-kekerasan
dalam-rumah-tangga”). Perkara ini termasuk dalam hukum qodzaf, dimana
pelakunya bisa dihukum 80 kali cambukan
(Qs. an-Nûr [24]: 4).
Pelacuran
merupakan tindakan kriminalitas, dimana wanita yang melakukannya akan diberikan
sanksi hukum, demikian juga lelakinya yang pezina. Islam tidak memandang apakah
korban atau pelakunya laki-laki atau perempuan. Pelacuran, bagaimanapun tetap
perbuatan tercela, tidak perduli laki-laki atau perempuan.
Sebaliknya,
poligami bukanlah bentuk kekerasan terhadap wanita karena tidak dilarang oleh
syariat Islam. Tapi menyakiti wanita dengan memukulnya sampai terluka, adalah
merupakan kekerasan terhadap wanita, baik dia monogami atau poligami. Karena
memukul wanita sampai dirinya terluka adalah perbuatan melanggar aturan Allah
SWT.
Berdasarkan
syariat Islam ada beberapa bentuk kekerasan atau kejahatan yang menimpa wanita
dimana pelakunya harus diberikan sanksi yang tegas. Namun sekali lagi perlu
ditegaskan kejahatan ini bisa saja menimpa laki-laki, pelakunya juga bisa
laki-laki atau perempuan. Berikut ini beberapa perilaku jarimah dan sanksinya
menurut Islam terhadap pelaku:
1.
Qadzaf, yakni melempar tuduhan. Misalnya menuduh wanita baik-baik berzina tanpa bisa memberikan bukti yang bisa
diterima oleh syariat Islam. Sanksi hukumnya adalah 80 kali cambukan. Hal ini
berdasarkan firman Alah SWT: “Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan
yang baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat saksi, maka
deralah 80 kali.” (Qs. an-Nûr [24]: 4-5).
2.
Membunuh, yakni ‘menghilangkan’ nyawa seseorang. Dalam hal ini sanksi bagi
pelakunya adalah qishos (hukuman mati). Firman Allah SWT: “Diwajibkan atas kamu
qishos berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.” (Qs. al-Baqarah [2]: 179).
3.
Mensodomi, yakni menggauli wanita pada duburnya. Haram hukumnya sehingga pelaku
wajib dikenai sanksi. Dari Ibnu Abbas berkata, Rasulullah Saw bersabda: “Allah
tidak akan melihat seorang laki-laki yang mendatangi laki-laki (homoseksual)
dan mendatangi istrinya pada duburnya.” Sanksi hukumnya adalah ta’zir, berupa hukuman
yang diserahkan bentuknya kepada pengadilan yang berfungsi untuk mencegah hal
yang sama terjadi.
4.
Penyerangan terhadap anggota tubuh. Sanksi hukumnya adalah kewajiban membayar
diyat (100 ekor unta), tergantung organ tubuh yang disakiti. Penyerang terhadap
lidah dikenakan sanksi 100 ekor unta, 1 biji mata 1/2 diyat (50 ekor unta),
satu kaki 1/2 diyat, luka yang sampai selaput batok kepala 1/3 diyat, luka
dalam 1/3 diyat, luka sampai ke tulang dan mematahkannya 15 ekor unta, setiap
jari kaki dan tangan 10 ekor unta, pada gigi 5 ekor unta, luka sampai ke tulang
hingga kelihatan 5 ekor unta (lihat Nidzam al-’Uqubat, Syaikh Dr. Abdurrahman
al-Maliki).
5.
Perbuatan-perbuatan cabul seperti berusaha melakukan zina dengan perempuan
(namun belum sampai melakukannya) dikenakan sanksi penjara 3 tahun, ditambah
jilid dan pengusiran. Kalau wanita itu adalah orang yang berada dalam
kendalinya, seperti pembantu rumah tangga, maka diberikan sanksi yang maksimal
6.
Penghinaan. Jika ada dua orang saling menghina sementara keduanya tidak
memiliki bukti tentang faktanya, maka keduanya akan dikenakan sanksi penjara
sampai 4 tahun (lihat Nidzam al-’Uqubat, Syaikh Dr. Abdurrahman al-Maliki).