Wednesday 26 December 2012

contoh surat gugatan



SURAT GUGATAN
Lamp : Surat Kuasa Khusus
Hal     : Gugatan Cerai

Kepada yang terhormat :
Ketua Pengadilan Negeri Sleman
Pada Pengadilan Negeri Sleman
Di –
      SLEMAN
Dengan hormat,
Yang bertandatangan dibawah ini, kami :
1.      RIDWAN ROFA’I. S.H.,M.H.
2.      VIVI KURNIAWATI. S.H.,M.H.
Keduanya adalah advokat yang beralamat kantor di Jl. Mendoan No.79, Yogyakarata, berdasarkan surat kuasa khusus bermaterai cukup tangal 10 Desember 2012, dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama klein kami :
Nama               : HERI PURWANTO
Alamat            : Glagahsari No. 16 RT/RW 10/12 Yogyakarta
Agama             : Katolik
Pekerjaan         : Pengusaha
Selanjutnya mohon disebut sebagai :
.........................................................PENGGUGAT...................................................................
Dengan ini mengajukan gugatan perceraian kepada :
Nama               : ARISANTI RATNA DEWI
Alamat                        : Jl. Godean RT/RW 05/01, Sleman, D.I.Yogyakarta
Agama             : Katolik
Pekerjaan          : Ibu rumah tangga
Selanjutnya mohon disebut sebagai :
............................................................TERGUGAT...................................................................
Adapun Gugatan ini kami ajukan berdasarkan hal-hal sebagai berikut :
1.      Bahwa Penggugat dengan Tergugat adalah suami istri yang melangsungkan pernikahan pada tangal 14 Oktober 2005 di Gereja Catedral Kota baru Yogyakarta dan dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Catatan Sipil Kota Yogyakarta sesuai Kutipan Akta Nikah Nomor : 56129103281 tanggal 15 Oktober 2005.
2.      Bahwa setelah melangsungkan perkawinan Penggugat dan Tergugat hidup rukun sebagaimana layaknya suami isteri dengan baik, telah/belum berhubungan badan dan keduanya bertempat tinggal bersama di Glagahsari No. 16 RT/RW 10/12 Yogyakarta, selama kurang lebih 7 tahun.
3.      Bahwa dari Perkawinan tersebut telah dikaruniai 2 orang anak yang masing-masing bernama: Cintya Melasari lahir tanggal 05 April 2006, Shandy Sevennova lahir tanggal 23 Mei 2009.
4.      Bahwa pada mulanya rumah tangga Penggugat dengan Tergugat dalam keadaan rukun namun sejak usaha Penggugat dan Tergugat mengalami kejayaan sehingga berakibat bertambah sibuknya penggugat sebagai pemiliknya. Dari itu ketentraman rumah tangga Penggugat dengan Tergugat mulai goyah, yaitu antara Penggugat dengan Tergugat sering terjadi perselisihan dan pertengkaran yang penyebabnya sebagai berikut :
·         Tergugat bermain cinta dengan pria lain bernama Dafi yang merupakan seorang pengusaha supermarket kenalan Tergugat. Dan Tergugat juga sering bersamaan dengan pria tersebut terlihat saling berjalan bersama serta menghabiskan waktu bersama.
·         Tergugat sering pulang malam dengan diantar oleh pria tersebut.
·         Tergugat sering mengajak pria tersebut main kerumahnya.
·         Tergugat sangat boros terhadap keuangan keluarga.
·         Tergugat tidak mampu mengurus kepentingan rumah tangga dengan baik.
·         Tergugat tidak memiliki itikad baik untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan mertuanya.
·         Tergugat tidak mengindahkan nasihat Penggugat sebagai kepala rumah tangga.
·         Perselisihan dan pertengkaran itu berkelanjutan terus-menerus sehingga akhirnya sejak tanggal tanggal 15 Agustus 2012 hingga selama kurang lebih 4 bulan, Penggugat dan Tergugat berpisah tempat tinggal karena Tergugat pergi meninggalkan tempat kediaman bersama, yang mana dalam pisah rumah tersebut saat ini Penggugat bertempat tinggal di Glagahsari No. 16 RT/RW 10/12 Yogyakarta, dan Tergugat bertempat tinggal di Jl. Godean RT/RW 05/01, Sleman, D.I.Yogyakarta dan selama itu sudah tidak ada hubungan lagi.
5.      Bahwa adanya peselisiahan dan pertengkaran yang menerus tersebut mengakibatkan rumah tangga Penggugat dengan Tergugat tidak ada kebahagiaan lahir dan batin dan tidak ada harapan untuk kembali membina rumah tangga.
6.      Bahwa pihak keluarga sudah berusaha mendamaikan Penggugat dan Tergugat namun tidak berhasil.
7.      Bahwa atas dasar uraian diatas gugatan Penggugat telah memenuhi alasan perceraian sebagaimana diatur dalam Undang-undang No.1 tahun 1974 jo.Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 pasal 19 jo. pasal 209 KUHPerdata.

Berdasarkan alasan/dalil-dalil diatas, Penggugat mohon agar Pengadilan Negeri Sleman segera memeriksa dan mengadili perkara ini, selanjutnya menjatuhkan putusan yang amarnya sebagai berikut :

PRIMAIR
1.      Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya.
2.      Menyatakan hak asuh anak diberikan pada Penggugat.
3.      Menyatakan putusnya perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat akibat perceraian.
4.      Membebankan biaya perkara kepada Tergugat.

SUBSIDAIR
Atau apabila Majelis Hakim berpendapat lain mohon Putusan yang seadil-adilnya dari suatu peradilan yang baik dan bijaksana ( Ex Aequo Et Bono ).

Demikianlah Gugatan ini disampaikan, atas perhatian dan perkenan Bapak / ibu Majelis Hakim, diucapkan terima kasih.
                       
                                                                                                                                                                                                                                   
Sleman, 12 Desember 2012
          Hormat Kami
Kuasa Hukum Penggugat


       RIDWAN ROFA’I. S,H.M,H.


      VIVI KURNIAWATI. S,H.M,H.

Friday 7 December 2012

OPINION ABOUT NEGATIVE IMPACTS OF DOMESTIC VIOLENCE


THE OPINIONS OF UMY LAW STUDENTS ON THE NEGATIVE IMPACTS OF DOMESTIC VIOLENCE TOWARDS CHILDREN

A.   Introduction
Indonesia is a unitary state that has basis in law as well as basis in governance. As a state of law, all actions taken by the residents will be bound, regulated, and protected by the law in Indonesia. The law in Indonesia will also be applied to all citizens of Indonesia, although thes are located in the territory of another country. The protection are provided by the laws of Indonesia to provide security for the entire community. But lately emerging new violence is violence on minors. Children are young successor to the ideals for the national struggle and have a strategic role to ensure the continued existence of the nation in the future. Therefore, everything that is done for there good were treated for the good of the whole community. But with the violence commited by adults to children under age can adversely affect the child's development. All treatments in the form of violence can damage children in both physical and mental. The condition of the woun will continue to be taken by the child to adulthood causing the development process not optimal due to human resources to get the negative impact of being a victim of violence as a child. The law in Indonesia set up and establish laws which is used as a protection for children under age from  various acts of violence that threaten their safety.
According to umy law students, if violence is witnessed every day the child is likely to be traumatic, tend to be quiet, often angry and cry. over time, thes mas see their parents shout or punch each other, which will make the child confused. In fact caused by his parents behaviour, it is not impossible if he would get angry with others who do not necessarily have to do with him. In addition the child may imitate the behavior of the parents in solving a problem if the child is already married. This happens because children acquire a model in how to solve a problem from their parents. For example, when the child saw his parents arguing and then saw that one of the parents uses violence, the experience will always give ​​an impression that it can be one of the reference to do when solving problems. Under these circumstances, the phenomenon of domestic violence can be "contagious" to other people so that domestic violence will never disappear or family environment will always threaten every family.
Santi (2012) considers violence against children is not just a personal problem. If it only affects a few of children it, can be tracked on the psychological causes of the individuals involved. The solution can also be done individually. Providing psychological therapy on both the perpetrators and the victims which  may be quickly completed.


B.   Literature review

Domestic violence is an activity in which the actors (who are members of households) attack someone who is also a member of the household. Violence means violence against children committed by parents against their children.
According to Law No. 23 of 2004 on the elimination of domestic violence, Chapter I, Article 1, states that: domestic violence is any act against a person, especially women, resulting in the emergence of misery or suffering physical, sexual, psychological, and or negligence of household including threat to commit acts, coercion, or unlawful deprivation of liberty within the domestic sphere.
Judging from the social psychological aspects, Adorno (in Azevedo & Viviane, 2008: 21) explains that:
Violence is a form of social relations ... Clearly, the violence shows social skills, ways of life imitating models of behavior in the social environment and applied in a particular situation in a lifetime ... In addition to the violence seseorag the show a social class, but it also shows quality of interpersonal relationships. Interpersonal relationship is like the relationship of husband and wife, both adults and children, even other categories like someone with an object ... Violence is a permanent threat because it resulted in suppression, cancellation or even death.

C.   Methodology

This research is designed with a descriptive method by interviews, opinion and outlook from umy students.
In the interview, the researcher to the interviewee about an introction to the problems the introduction is attached in the appeadiy. Before the interviewer is held, the interviewer gives a brief explanation about what the research is all about. The brief information about what attached in the appendix.
"This research is important because it reveals how the process of adaptation to the child's brain to violent behavior in the family, as well as its impact in the future," said McCrory as quoted by the Daily Mail, Monday (5/12).
The research is conducted in umy. The respondents are tree students from law facuts of umy.  The all of question based on the three based question:
1.      What are the sycology impacts the forward children’s caused by domestic violece?
2.      Are the punishmen on domestic violence appropriate,yet?


D.   Finding and discussion

After the data are collected and based on the data, all respondents disagreed with the punishment diIndonesia. demonstrated their disapproval by reason.
·         First: Violence is a permanent threat because it resulted in suppression, cancellation or even death and the punishment should also be worth a minimum of 20 years imprisonment.
·         Second: they assume that the sentence was in Indonesia have not been so good and effective because the punishment can not deter most violent offenders and is conducted by a husband against his wife and will pisikologi impact also on their children.
·         The Third: the children who are often seen bickering parents, especially when accompanied by physical violence will be more alert to face the danger signal itself. Side effects, children also have a high risk of anxiety and depression in adulthood.

        I.            Adequate punishment for perpetrators
penalties provided by law enforcement officials should be a deterrent, but it does not seem evektiv because it is caused by domestic violence is very much impact, especially for the victims themselves and their children who see their parents to violence. if the violence he witnessed every day may be traumatic, tend to be quiet, often angry cry. And from time to time be general, meaning not only see their parents shout or punch, but when he saw that the others were doing. In fact it is not impossible he would get angry with others who do not necessarily have to do with him. In addition to traumatic and young children tend to imitate the behavior of their parents going to menyelaesaikan matter if the child she was married. This happens because children acquire a model in how to solve the problem. For example, he sees his parents arguing and then saw one of the parents using violence, the experience will always imprint on him, and become one of the reference when solving problems.
Some statemen from respondent :
“Kalau menurut saya hukuman bagi pelaku kdrt ini belum begitu efektif sebab dampak yang ditimbulkan oleh korban kdrt ini tidak sebanding dengan hukuman yang diterima oleh pelaku,seperti kekerasan, pemukulan, fisikologinya juga terganggu”.
                                                                                                                        (intr 3)


    II.            Man has always been a perpetrator of domestic violence
Most of the people in general realize that domestic violence is not such a great cause, whatever the reason for trying to justify it. But on the other hand, the number of domestic violence cases rising from year to year, which is almost all done by the husband to his wife. Then comes the question: Why would a man have the heart to hurt her own choosing as a life companion, who is also the mother of his children? Should not the husband's role as a protector, and not vice versa
It is said that men often do violence to his wife constituted with a family background where his father once too often to violence. But in subsequent studies it proved irrelevant. Most of the perpetrators of domestic violence have a dependency on alcohol, while another part comes from a family background that is less capable with minimal education.
But it turns out it was not relevant and can not be justified as a valid reason men abusive to his wife. Better Health Channel website says, the researchers found that men who commit domestic violence often experience this:
* Using physical and emotional abuse to control his family. Labeled "bad", "bitch", "stupid", and so his wife or children have a form of emotional abuse.
* Convinced that they have the right to behave in any way they choose while in his home.
* Thinking that a real man should be tough, strong, and became head of the household. Therefore, they also believe that they should take all decisions, including how much money should be spent.
* Believe that man the right to demand sex from his partner.
* They are not responsible for their actions and assume that the wife or the environment that provoke it.
* Making excuses about perpetrating violence, such as the blame alcohol or stress because of work.
* Claiming to lose control when angry to his family, but was able to control his anger when he was in between others. They tend not to use violence in other situations, such as when you're with friends, your boss, or coworkers.
* Trying to blame others if there is justification or denial of the violence they are doing or the effect of violence against women and children.
The views and mindsets that undermine the existence of women in a family is a major factor in domestic violence. And this mindset is formed in its infancy men are in their environment, so that nature likes to domestic violence is not a trait easily removed, especially when it becomes a habit.
Some statemen from respondent:
“Karena seorang laki-laki itu dalam segi fisik kuat sehingga kdtr ini sering dilakukan oleh laki-laki”.
                                                                                                                                    (intr 1)
“Perempuan itu lemah dari segi pisik dibandingkan dengan laki-laki”
(intr 2)



E.     Conclusion

Solutions to prevent domestic violence
The correct solution for the domestic violence meminimalisirkan That could change if there is modernization. What is meant here is not the modernization of life style, but a more substantive. For example, by changes in the values ​​of humanity, mindset, knowledge insights and important aspects lainnya.Tentu there are external factors that affect, for example, exposure to the media. If fixed media presentation featuring women as a commodity to be exploited only by men, that means there is a process of planting mindset. Because the displays on television, for example, a justification that men can commit violence.
Could have been the cause of economic factors. If there are economic problems and there is no agreement, then there is no communication to give birth the way out, it could happen tangga.Kuncinya violence in the home is on communication. If there is no communication, stereotyping and prejudice are born great between the two sides, more than faith to resolve the problem themselves. So the possibility of mutual openness in the household is the right solution to overcome them. In the sense of trust between members of the family in every way.

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA


1.      pandangan hukum Islam terhadap tindak kekerasan dalam rumah tangga
Pandangan islam dalam KDRT adalah sebuah idiologi atau sebuah acuan dari sudut pandang atau dari sistem islam tentang tindak kekerasan didalam rumah tangga,  yang lebih dulu diatur didalam alQu’an dan hadist. Akan tetapi berdasarkan penelitian ini diperoleh,  bahwa Islam tidak mengenal istilah atau definisi kekerasan dalam rumah tangga secara khusus. Kekerasan dalam rumah tangga menurut Islam termasuk ke dalam kategori kejahatan (kriminalitas) secara umum. (“ baitijannati.wordpress.com”). Seperti halnya pengertian KDRT didalam undang-undang  adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Pasal 1 Butir 1).
Adapun didalam Surat An-Nisa:19 Allah swt. memerintahkan bahwa perempuan harus diperlakukan dengan baik. "Wahai orang yang beriman, tiada dihalalkan bagimu mempusakai perempuan dengan paksaan dan janganlah bertindak kejam terhadap mereka….sebaliknya bergaullah dengan mereka secara baik-baik lagi adil. Hiduplah bersama mereka dalam kebajikan". Dalam surat Ar-Rum:21, Allah swt menyuruh agar keluarga (suami, istri) harus dibangun dengan dasar saling mencintai dan saling menyayangi (“ Surat An-Nisa:19”).
Begitu juga di dalam Hadis yang meriwayatkan amanah Nabi Muhammad kepada para sahabat agar berlaku baik terhadap istri-istrinya banyak ditemukan. Mulai dari yang diriwayatkan oleh  Tarmidzi. Aisyah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda "Yang paling baik dikalangan kamu adalah mereka paling sopan terhadap istrinya" (HR. Tarmidzi). Atau dalam riwayat Abu Daud, Nasa’i dan Ibnu Majah. Mereka meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. Bersabda: "…para suami yang memukul istrinya bukanlah termasuk orang-orang baik diantara kamu"(HR.Abu Daud, Nasa’i dan Ibnu Majah). Dalam Hadist lain Nabi mewanti-wanti agar "Janganlah kamu memukul hamba-hamba perempuan Allah swt" (HR. Abu Daud).
Jika melihat firmah Allah SWT dan Hadist Nabi di atas, maka kekerasan terhadap perempuan, adalah hal yang dilarang dalam Islam. Bahkan jika perempuan melakukan  nusyuz, Allah tetap memerintahkan agar memperlakukan perempuan dengan baik:
“Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah dari tempat tidur mereka dan pukullah (wadharibuhunna) mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah maha Tinggi lagi Maha Besar." (“An Nisa: 34”)
Kata wadharibunna yang berasal dari kata dharaba lebih banyak ditafsirkan dengan memukul. Ini sering dijadikan alasan pemukulan suami terhadap istri. Padahal kata dharaba memiliki arti yang sangat luas seperti mendidik, mencangkul, memelihara bahkan menurut Ar-Raghib secara metaforis berarti melakukan hubungan seksual. Islam adalah agama rahmatal lil alamin (pembawa rahmat, kebaikan) bagi alam semesta. Sangat tidak mungkin jika Islam mengajarkan kekerasaan terhadap siapapun dan apapun yang ada dialam semesta ini. Jika kita mengimani kekerasaan, maka sebenarnya kita mengingkari ayat-ayat Alqur’an dan mengingkari kewelasasihan Nabi Muhammad saw.
2.      mekanisme penanganannya menurut hukum Islam
Adapun ketegangan maupun konflik yang terjadi di dalam rumah tangga merupakan hal yang biasa. Namun, apabila ketegangan itu berbuah kekerasan, seperti: menampar, menendang, memaki, menganiaya dan lain sebagainya, ini adalah hal yang tidak biasa. Demikian itulah potret KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga).
Ada banyak langkah yang harus segera kita lakukan. Dua belah pihak (suami dan istri) harus bersama-sama berusaha untuk menjauhkan diri terlibat dengan KDRT. Walaupun, aktor penting dalam masalah ini adalah suami, akan tetapi istri juga berpeluang menciptakan KDRT.(“http://d2bnuhatama.blogspot.com/2011/08/makalah-pancasila-kekerasan-dalam-rumah.html”).
Langkah-langkah untuk menanggulangi KDRT, antara lain adalah:
a.       Cara penyelesaian kekerasan dalam rumah tangga menurut hukum Islam yaitu melalui pemberian sanksi hukuman dimana hukuman tersebut diterapkan sesuai dengan jenis kejahatan yang dilakukan oleh pelaku.
b.      landasan keimanan. Makanya, antara suami dan istri harus senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT. Insya Allah, manakala suami sholeh dan istrisholehah akan jauh dari KDRT.
c.       Perlunya keimanan yang kuat dan akhlaq yang baik dan berpegang teguh pada agamanya sehingga Kekerasan dalam rumah tangga tidak terjadi dan dapat diatasi dengan baik dan penuh kesabaran.
d.      Harus  tercipta kerukunan dan kedamaian di dalam sebuah keluarga, karena didalam agama itu mengajarkan tentang kasih sayang terhadap ibu, bapak, saudara, dan orang lain. Sehingga antara anggota keluarga dapat saling mengahargai setiap pendapat yang ada.
e.       Harus adanya komunikasi yang baik antara suami dan istri, agar tercipta sebuah rumah tangga yang rukun dan harmonis. Jika di dalam sebuah rumah tangga tidak ada keharmonisan dan kerukunan diantara kedua belah pihak, itu juga bisa menjadi pemicu timbulnya kekerasan dalam rumah tangga.
f.       Butuh rasa saling percaya, pengertian, saling menghargai dan sebagainya antar anggota keluarga. Sehingga rumah tangga dilandasi dengan rasa saling percaya. Jika sudah ada rasa saling percaya, maka mudah bagi kita untuk melakukan aktivitas. Jika tidak ada rasa kepercayaan maka yang timbul adalah sifat cemburu yang kadang berlebih dan rasa curiga yang kadang juga berlebih-lebihan.
g.      Seorang istri harus mampu mengkoordinir berapapun keuangan yang ada dalam keluarga, sehingga seorang istri dapat mengatasi apabila terjadi pendapatan yang minim, sehingga kekurangan ekonomi dalam keluarga dapat diatasi dengan baik.


3.      Faktor dan sanksi bagi pelaku tindak KDRT dalam islam
a.       Faktor-faktor
Kekerasan terhadap wanita adalah bentuk kriminalitas (jarimah). Pengertian kriminalitas (jarimah) dalam Islam adalah tindakan melanggar peraturan yang telah ditetapkan oleh syariat Islam dan termasuk kategori kejahatan. Sementara kejahatan dalam Islam adalah perbuatan tercela (al-qobih) yang ditetapkan oleh hukum syara’, bukan yang lain. Sehingga apa yang dianggap sebagai tindakan kejahatan terhadap wanita harus distandarkan pada hukum syara’. (“http://d2bnuhatama.blogspot.com/2011/08/makalah-pancasila-kekerasan-dalam-rumah.html”).
Disinilah kekeliruan mendasar dari kelompok Feminis, yang menganggap kejahatan diukur berdasarkan kepada gender (jenis kelamin) korban atau pelakunya, bukan pada hukum syara’. Mereka membela pelacur, karena dianggap sebagai korban. Sebaliknya mereka menuduh poligami sebagai bentuk kekerasan terhadap wanita, dengan anggapan wanita telah menjadi korbannya.
Padahal, kejahatan bukanlah perkara gender (jenis kelamin). Pasalnya, kejahatan bisa menimpa siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan. Pelakunya juga bisa laki-laki dan bisa pula perempuan. Dengan demikian Islam pun menjatuhkan sanksi tanpa melihat apakah korbannya laki-laki atau perempuan. Tidak pula melihat apakah pelakunya laki-laki atau perempuan, tapi yang dilihat apakah dia melanggar hukum Allah SWT atau tidak.
Kekerasan juga bukan disebabkan sistem patriarki atau karena adanya subordinasi kaum perempuan, karena laki-laki maupun perempuan mempunyai peluang yang sama sebagai korban. Kalaupun data yang tersedia lebih banyak menyebutkan wanita sebagai korban, itu semata-mata karena data laki-laki sebagai korban kekerasan tidak tersedia. Dengan begitu kekerasan tidak ada kaitannya dengan penyetaraan hak laki-laki atau perempuan. Gagasan anti-KDRT dengan mengatasnamakan pembelaan terhadap hak-hak wanita pada akhirnya justru bias gender.
Lebih dari itu, kekerasan atau kejahatan sendiri dipicu oleh dua hal. Pertama, faktor individu. Tidak adanya ketakwaan pada individu-individu, lemahnya pemahaman terhadap relasi suami-istri dalam rumah tangga, dan karakteristik individu yang temperamental adalah pemicu bagi seseorang untuk melanggar hukum syara’, termasuk melakukan tindakan KDRT.
Kedua, faktor sistemik. Kekerasan yang terjadi saat ini sudah menggejala menjadi penyakit sosial di masyarakat, baik di lingkungan domestik maupun publik. Kekerasan yang terjadi bersifat struktural yang disebabkan oleh berlakunya sistem yang tidak menjamin kesejahteraan masyarakat, mengabaikan nilai-nilai ruhiyah dan menafikkan perlindungan atas eksistensi manusia. Tak lain dan tak bukan ialah sistem kapitalisme-sekular yang memisahkan agama dan kehidupan.
Penerapan sistem itu telah meluluh-lantakkan sendi-sendi kehidupan asasi manusia. Dari sisi ekonomi misalnya, sistem kapitalisme mengabaikan kesejahteraan seluruh umat manusia. Sistem ekonomi kapitalistik menitikberatkan pertumbuhan dan bukan pemerataan. Pembangunan negara yang diongkosi utang luar negeri, dan merajalelanya perilaku kolusi dan korupsi pada semua lini pemerintahan, telah meremukkan sendi-sendi perekonomian bangsa. Tak kurang 70% penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Mereka tidak mampu menghidupi diri secara layak karena negara mengabaikan pemenuhan kebutuhan pokok mereka. Himpitan ekonomi inilah yang menjadi salah satu pemicu orang berbuat nekat melakukan kejahatan, termasuk munculnya KDRT. Banyak kasus KDRT menimpa keluarga miskin, dipicu ketidakpuasan dalam hal ekonomi.
Dari sisi hukum, ketiadaan sanksi yang tegas dan membuat jera pelaku telah melanggengkan kekerasan atau kejahatan di masyarakat. Seperti pelaku pemerkosaan yang dihukum ringan, pelaku perzinaan yang malah dibiarkan, dll. Dari sisi sosial-budaya, gaya hidup hedonistik yang melahirkan perilaku permisif, kebebasan berperilaku dan seks bebas, telah menumbuh-suburkan perilaku penyimpangan seksual seperti homoseksual, lesbianisme dan hubungan seks disertai kekerasan.
Dari sisi pendidikan, menggejalanya kebodohan telah memicu ketidak-pahaman sebagian masyarakat mengenai dampak-dampak kekerasan dan bagaimana seharusnya mereka berperilaku santun. Ini akibat rendahnya kesadaran pemerintah dalam penanganan pendidikan, sehingga kapitalisasai pendidikan hanya berpihak pada orang-orang berduit saja. Lahirlah kebodohan secara sistematis pada masyarakat. dan kemerosotan pemikiran masyarakat, sehingga perilakupun berada pada derajat sangat rendah.
Untuk persoalan sistemik ini, dibutuhkan penerapan hukum yang menyeluruh oleh negara. Kalau tidak akan terjadi ketimpangan. Sebagai contoh sulit untuk menghilangkan pelacuran, kalau faktor ekonomi tidak diperbaiki. Sebab, tidak sedikit orang melacur karena persoalan ekonomi. Kekerasaan dalam rumah tangga, kalau hanya dilihat dari istri harus mengabdi kepada suami, pastilah timpang. Padahal dalam Islam, suami diwajibkan berbuat baik kepada istri. Kekerasaan yang dilakukan oleh suami seperti menyakiti fisiknya bisa diberikan sanksi diyat. Disinilah letak penting tegaknya hukum yang tegas dan menyeluruh.
Perlu pula diingat, kejahatan bukan sesuatu yang fitri (ada dengan sendirinya) pada diri manusia. Kejahatan bukan pula profesi yang diusahakan oleh manusia,  juga bukan penyakit yang menimpa manusia. Tapi kejahatan adalah setiap hal yang melanggar peraturan Allah SWT, siapapun pelakunya, baik laki-laki maupun wanita.

b.      Sanski Pelaku Jarimah
Kekerasan terjadi baik di lingkungan keluarga maupun di luar rumah tangga. Dan semua bentuk kriminalitas, baik di lingkup domestik maupun publik akan mendapatkan sanksi sesuai jenis kriminalitasnya, baik pelakunya laki-laki maupun perempuan. Semisal bagi orang yang menuduh wanita berzina tanpa bukti, pelakunya dihukum oleh Islam (“http://baitijannati.wordpress.com/2007/02/02/pandangan-islam-terhadap-kekerasan dalam-rumah-tangga”). Perkara ini termasuk dalam hukum qodzaf, dimana pelakunya bisa dihukum 80 kali cambukan  (Qs. an-Nûr [24]: 4).
Pelacuran merupakan tindakan kriminalitas, dimana wanita yang melakukannya akan diberikan sanksi hukum, demikian juga lelakinya yang pezina. Islam tidak memandang apakah korban atau pelakunya laki-laki atau perempuan. Pelacuran, bagaimanapun tetap perbuatan tercela, tidak perduli laki-laki atau perempuan.
Sebaliknya, poligami bukanlah bentuk kekerasan terhadap wanita karena tidak dilarang oleh syariat Islam. Tapi menyakiti wanita dengan memukulnya sampai terluka, adalah merupakan kekerasan terhadap wanita, baik dia monogami atau poligami. Karena memukul wanita sampai dirinya terluka adalah perbuatan melanggar aturan Allah SWT.
Berdasarkan syariat Islam ada beberapa bentuk kekerasan atau kejahatan yang menimpa wanita dimana pelakunya harus diberikan sanksi yang tegas. Namun sekali lagi perlu ditegaskan kejahatan ini bisa saja menimpa laki-laki, pelakunya juga bisa laki-laki atau perempuan. Berikut ini beberapa perilaku jarimah dan sanksinya menurut Islam terhadap pelaku:
1. Qadzaf, yakni melempar tuduhan. Misalnya menuduh wanita baik-baik  berzina tanpa bisa memberikan bukti yang bisa diterima oleh syariat Islam. Sanksi hukumnya adalah 80 kali cambukan. Hal ini berdasarkan firman Alah SWT: “Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat saksi, maka deralah 80 kali.” (Qs. an-Nûr [24]: 4-5).
2. Membunuh, yakni ‘menghilangkan’ nyawa seseorang. Dalam hal ini sanksi bagi pelakunya adalah qishos (hukuman mati). Firman Allah SWT: “Diwajibkan atas kamu qishos berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.” (Qs. al-Baqarah [2]: 179).
3. Mensodomi, yakni menggauli wanita pada duburnya. Haram hukumnya sehingga pelaku wajib dikenai sanksi. Dari Ibnu Abbas berkata, Rasulullah Saw bersabda: “Allah tidak akan melihat seorang laki-laki yang mendatangi laki-laki (homoseksual) dan mendatangi istrinya pada duburnya.” Sanksi hukumnya adalah ta’zir, berupa hukuman yang diserahkan bentuknya kepada pengadilan yang berfungsi untuk mencegah hal yang sama terjadi.
4. Penyerangan terhadap anggota tubuh. Sanksi hukumnya adalah kewajiban membayar diyat (100 ekor unta), tergantung organ tubuh yang disakiti. Penyerang terhadap lidah dikenakan sanksi 100 ekor unta, 1 biji mata 1/2 diyat (50 ekor unta), satu kaki 1/2 diyat, luka yang sampai selaput batok kepala 1/3 diyat, luka dalam 1/3 diyat, luka sampai ke tulang dan mematahkannya 15 ekor unta, setiap jari kaki dan tangan 10 ekor unta, pada gigi 5 ekor unta, luka sampai ke tulang hingga kelihatan 5 ekor unta (lihat Nidzam al-’Uqubat, Syaikh Dr. Abdurrahman al-Maliki).
5. Perbuatan-perbuatan cabul seperti berusaha melakukan zina dengan perempuan (namun belum sampai melakukannya) dikenakan sanksi penjara 3 tahun, ditambah jilid dan pengusiran. Kalau wanita itu adalah orang yang berada dalam kendalinya, seperti pembantu rumah tangga, maka diberikan sanksi yang maksimal
6. Penghinaan. Jika ada dua orang saling menghina sementara keduanya tidak memiliki bukti tentang faktanya, maka keduanya akan dikenakan sanksi penjara sampai 4 tahun (lihat Nidzam al-’Uqubat, Syaikh Dr. Abdurrahman al-Maliki).